Wanprestasi ataukah Penipuan?

Daftar Isi

Wanprestasi ataukah Penipuan
Memahami Perbedaan Antara Wanprestasi dan Penipuan

Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita mendengar istilah wanprestasi dan penipuan. Keduanya adalah konsep hukum yang berbeda, tetapi sering kali membingungkan bagi banyak orang. Memahami perbedaan antara wanprestasi dan penipuan penting agar kita tidak salah dalam menilai suatu kasus atau masalah hukum.

Apa itu Wanprestasi?

Wanprestasi adalah istilah hukum yang digunakan untuk menggambarkan kegagalan seseorang dalam memenuhi kewajibannya menurut perjanjian atau kontrak yang telah disepakati. Dengan kata lain, wanprestasi terjadi ketika salah satu pihak tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan berdasarkan kesepakatan yang telah dibuat.

Contoh sederhana dari wanprestasi adalah ketika seseorang membeli barang secara kredit dan tidak membayar cicilan sesuai jadwal yang telah ditentukan. Dalam kasus ini, pihak yang tidak membayar cicilan dianggap wanprestasi karena melanggar perjanjian pembayaran.

Apa itu Penipuan?

Penipuan, di sisi lain, adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk menipu atau mengelabui orang lain dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang tidak sah. Penipuan melibatkan elemen niat jahat (mens rea) dan tindakan (actus reus) yang dirancang untuk menipu korban.

Misalnya, jika seseorang menjual barang palsu sebagai barang asli dengan tujuan untuk mendapatkan uang secara curang, tindakan tersebut merupakan penipuan. Penipuan tidak hanya melibatkan pelanggaran perjanjian, tetapi juga niat jahat untuk menipu.

Perbedaan Utama

  • Niat: Wanprestasi umumnya tidak melibatkan niat jahat. Seseorang mungkin gagal memenuhi kewajiban karena kelalaian, kesulitan finansial, atau alasan lain tanpa adanya niat untuk merugikan pihak lain. Penipuan, sebaliknya, selalu melibatkan niat jahat untuk menipu dan memperoleh keuntungan secara tidak sah.
  • Akibat Hukum: Wanprestasi biasanya diselesaikan dalam ranah perdata dengan memberikan kompensasi atau ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. Penipuan, selain bisa berujung pada ganti rugi, juga bisa membawa konsekuensi pidana seperti penjara karena dianggap sebagai tindak kejahatan.
  • Bentuk Tindakan: Wanprestasi bisa berupa tidak melakukan apa yang sudah disepakati (misalnya tidak membayar utang), sementara penipuan biasanya berupa tindakan aktif untuk menipu (misalnya memalsukan dokumen).

Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 4/Yur/Pid/2018

Pengantar: 

Konsep perjanjian pada dasarnya adalah hubungan keperdataan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek (B.W.). Apabila orang yang berjanji tidak memenuhi janji yang telah ditentukan, maka berdasarkan Pasal 1365 B.W., orang tersebut dapat disebut telah melakukan wanprestasi atau cidera janji. Namun, pada praktiknya, ada orang-orang yang dilaporkan ke Polisi karena tidak memenuhi janji yang telah ditentukan. Umumnya, pihak pelapor merasa bahwa orang tersebut telah menipu pelapor karena janji yang harus dilaksanakan ternyata tidak dipenuhi, padahal pelapor telah menyerahkan barang dan/atau uang kepada orang tersebut. 

Kondisi ini menimbulkan permasalahan hukum kapan seseorang yang tidak memenuhi sebuah perjanjian dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi, sehingga penyelesaian perkaranya harus dilakukan secara perdata, dan kapan orang tersebut dapat dikatakan telah melakukan penipuan yang penyelesaian perkaranya dilakukan secara pidana.

Pendapat Mahkamah Agung:

Atas permasalahan tersebut, Mahkamah Agung telah konsisten berpendapat bahwa apabila seseorang tidak memenuhi kewajiban dalam sebuah perjanjian, dimana perjanjian tersebut dibuat secara sah dan tidak didasari itikad buruk, maka perbuatan tersebut bukanlah sebuah penipuan, namun masalah keperdataan, sehingga orang tersebut harus dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum. Pandangan ini dapat ditemukan dalam Putusan No. 598K/Pid/2016 (Ati Else Samalo) yang menyebutkan bahwa:

Terdakwa terbukti telah meminjam uang kepada saksi Wa Ode Ikra binti La Ode Mera (saksi korban) sebesar Rp4.750.000,00(empat juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah), namun Terdakwa tidak mengembalikan hutang tersebut kepada saksi korban sesuai dengan waktu yang diperjanjikan, meskipun telah ditagih berulang kali oleh saksi korban, oleh karenanya hal tersebut sebagai hubungan keperdataan bukan sebagai perbuatan pidana, sehingga penyelesaiannya merupakan domain hukum perdata, dan karenanya pula terhadap Terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum.

Pandangan serupa jugat ercantum dalam beberapa putusan. Pertama, Putusan No. 1357 K/Pid/2015 (Hein Noubert Kaunang), yang menyatakan:

Bahwa berdasarkan fakta tersebut, Mahkamah Agung berpendapat bahwa hubungan hukum yang terjalin antara para Terdakwa dengan saksi korban adalah hubungan keperdataan berupa hubungan hutang piutang dengan jaminan sebidang tanah kebun dan tanah atau rumah milik para Terdakwa, dan ternyata dalam hubungan hukum tersebut para Terdakwa melakukan ingkar janji atau wanprestasi dengan cara tidak menyerahkan tanah kebun dan tanah atau rumah miliknya kepada saksi korban. Perbuatan para Terdakwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, akan tetapi perbuatan para Terdakwa tersebut merupakan perbuatan yang bersifat keperdataan yang penyelesaiannya dapat ditempuh melalui hukum keperdataan.

Kedua, Putusan No. 1316 K/Pid/2016 (Linda Wakary), yangmenyatakan:

Karena kasus ini diawali dengan adanya perjanjian jual beli antara Saksi korban dengan Terdakwa dan Terdakwa tidak memenuhi kewajibannya dalam perjanjian itu, oleh karenanya perkara a quo adalah masuk lingkup perdata. Sehubungan dengan itu, maka Terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan hukum.

Ketiga, Putusan No. 1336 K/Pid/2016 (Agusmita) yanmenyatakan:

Bahwa sekiranya dikemudian hari saksi Apriandi tidak bisa mengembalikan pinjaman uang kepada saksi korban diantaranya disebabkan karena Terdakwa juga belum membayar pinjamannya kepada saksi Apriandi, maka permasalahan tersebut merupakan dan masuk ranah hukum perdata yang secara yuridis harus diselesaikan di hadapan Hakim perdata.

Keempat, Putusan No. 902 K/Pid/2017 (Asmawati) yangmenyatakan:

Bahwa perkara a quo bermula dari adanya pinjam meminjam sejumlah uang antara Terdakwa dengan korban, namun pada saat jatuh tempo yang dijanjikan Terdakwa tidak bisa mengembalikan pinjaman tersebut, sehingga merupakan hutang dan masuk ranah perdata, sehingga penyelesaiannya melalui jalur perdata.

Dari putusan-putusan tersebut terlihat bahwa pada dasarnya, suatu perkara yang diawali dengan adanya hubungan keperdataan, seperti perjanjian, dan perbuatan yang menyebabkan perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan terjadi setelah perjanjian tersebut dibuat, maka perkara tersebut adalah perkara perdata dan bukan perkara pidana. Hal ini juga sejalan dengan yang disebutkan dalam Putusan No. 1601 K/Pid/1990 yang menyatakan bahwa apabila perbuatan yang mengakibatkan gagalnya perjanjian terjadi setelah perjanjian dilahirkan, maka akibat hukum yang timbul adalah wanprestasi yang merupakan ranah hukum perdata. Pandangan ini juga ditemukan dalam Putusan No. 43 K/Pid/2016 (Haryono Eddyarto), No. 1327 K/Pid/2016 (Apriandi), No. 342 K/Pid/2017 (Markus Baginda), danNo. 994 K/Pid/2017 (Aprida Yani). 

Namun demikian tidak semua perbuatan tidak melaksanakan kewajiban perjanjian tidak dapat dipandang sebagai penipuan. Apabila perjanjian tersebut dibuat dengan didasari itikad buruk/tidak baik niat jahat untuk merugikan orang lain, maka perbuatan tersebut bukan merupakan wanprestasi, tetapi tindak pidana penipuan. Pandangan ini terdapat dalam putusan No. 1689 K/Pid/2015 (Henry Kurniadi) yang menyebutkan bahwa:

Bahwa alasan kasasi Terdakwa yang menyatakankasus Terdakwa bukan kasus pidana melainkan kasus perdata selanjutnya utang piutang, antara Terdakwa dengan Astrindo Travel tidak dapat dibenarkan karena Terdakwa dalam pemesanan tiket tersebut telah menggunakan nama palsu atau jabatan palsu, hubungan hukum keperdataan yang tidak didasari dengan kejujuran, dan itikat buruk untuk merugikan orang lain adalah penipuan.

Putusan lain yang menyatakan hal serupa adalah Putusan No. 366K/Pid/2016 (I Wayan Sunarta) yang menyatakan dengan tegas bahwa perjanjian yang didasari dengan itikad buruk atau niat jahat untuk merugikan orang lain bukan wanprestasi tetapi penipuan dan Putusan No. 211 K/Pid/2017 (Erni Saroinsong) yang pada intinya menyatakan bahwa meskipun hubungan hukum antara Terdakwa dan Saksi Korban Robert Thoenesia awalnya pinjam meminjam uang sebesarRp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk modal kerja proyek pengadaan bibit kakao Dinas Perkebunan Propinsi Sulawesi Selatan. Namun, sebelum melakukan pinjaman tersebut Terdakwa telah memiliki itikad tidak baik kepada Saksi Korban Robert Thoenesia, maka perbuatan materiil Terdakwa telah memenuhi seluruh unsur Pasal 378 KUHP (penipuan).

Kaidah Hukum Yurisprudensi

Berdasarkan uraian diatas maka dapat ditarik kesimpulan untuk dapat menilai apakah suatu wanprestasi termasuk sebagai penipuan atau masalah keperdataan harus dilihat apakah perjanjian tersebut didasari atas itikad buruk/tidak baik atau tidak.

Kata Kunci:

Perjanjian; Wanprestasi; Itikad baik; itikad buruk; Pengacara yang menangani kasus Wanprestasi di Medan, Pengacara yang menangani kasus Penipuan di Medan;